Mengutip dari pernyataan Bank Dunia, ternyata harga beras di Indonesia 20% lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global. Harga beras di Indonesia juga disebut-sebut konsisten paling tinggi di kawasan ASEAN pada beberapa tahun terakhir.
Namun dibalik itu, ada hal menyedihkan yang mana pendapatan rata-rata petani lokal justru dinilai tak sebanding dengan melonjaknya harga beras di pasaran. Hal ini menjadi masalah yang sering muncul dan menjadi perdebatan panjang.
Baca Juga :
- 6 Cara Mudah Menanam Daun Salam di Pekarangan Rumah
- Cara Lengkap Budidaya Udang Windu, Cocok untuk Pemula!
- 5 Jenis Melon yang Populer di Indonesia, Mana Favoritmu?
Kesenjangan antara tingginya harga beras di pasaran dengan pendapatan petani yang rendah memang terbilang ironis. Lantas, apa saja penyebabnya? Mengapa bisa terjadi? Berikut beberapa faktor utama yang menyebabkan hal tersebut.
1. Distribusi keuntungan tidak merata
Dalam rantai pasokan pertanian, keuntungan cenderung terakumulasi di tingkat distribusi, penggilingan, dan pedagang, bukan di tingkat petani.
Petani sering menjual gabah dengan harga rendah kepada pengepul atau tengkulak yang memiliki kontrol lebih besar terhadap pasar dan harga akhir.
Setelah gabah diproses menjadi beras dan dijual kepada konsumen, nilai tambah terjadi di tahap pengolahan dan distribusi, yang tidak dinikmati oleh petani. Sehingga, meski harga beras tinggi di pasar, margin keuntungan yang didapat petani tetap kecil.
2. Biaya produksi yang tinggi
Biaya produksi untuk petani cukup tinggi, seperti biaya pupuk, pestisida, bibit, dan tenaga kerja. Selain itu, banyak petani kecil yang masih menggunakan metode pertanian tradisional yang kurang efisien di masa sekarang.
Kombinasi dari biaya produksi yang tinggi dan hasil panen yang tidak maksimal menyebabkan keuntungan bersih yang rendah. Kenaikan harga input pertanian seperti pupuk dan bahan bakar sering kali tidak diimbangi dengan kenaikan harga beli gabah dari petani.
3. Ketergantungan pada tengkulak
Tengkulak adalah pedagang perantara yang membeli hasil panen atau hasil bumi dari petani atau pemilik pertama. Banyak petani di Indonesia tidak memiliki akses langsung ke pasar atau kemampuan untuk menjual beras mereka langsung ke konsumen.
Mereka tergantung pada tengkulak atau pengepul yang menawarkan harga lebih rendah karena petani membutuhkan uang segera setelah panen untuk menutupi biaya produksi atau kebutuhan sehari-hari.
Ketergantungan ini melemahkan posisi tawar petani, sehingga mereka tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari hasil pertaniannya.
Jika Anda membutuhkan karung plastik untuk pengemasan beras pasca panen, beli saja di toko kami. Harga termurah, ukuran lengkap! Cek harganya sekarang disini.
4. Produktivitas yang rendah
Produktivitas lahan di Indonesia sering kali lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga karena penggunaan teknologi pertanian yang belum optimal, manajemen air yang kurang efisien, serta keterbatasan modal untuk memperbarui alat dan teknik pertanian.
Dengan produktivitas yang rendah, jumlah hasil panen tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, sehingga meskipun harga beras tinggi, jumlah yang bisa dijual oleh petani menjadi terbatas.
5. Kebijakan impor beras
Kebijakan impor beras kadang juga mempengaruhi pendapatan petani lokal. Jika beras impor masuk dalam jumlah besar, harga beras di pasar bisa turun, tetapi hal ini tidak selalu diimbangi dengan turunnya harga input produksi yang harus dibayar petani.
Akibatnya, petani lokal tertekan dan pendapatan mereka tidak meningkat meskipun harga beras di pasar tetap tinggi. Masalah ini semestinya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan, karena Indonesia sendiri memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
Referensi :
https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/23/170000665/harga-beras-di-indonesia-mahal-tapi-pendapatan-petani-rendah-apa?page=all
Tidak ada komentar: